Monday, January 26, 2009

jihad!!!



Jihad
Bahagian 1

Kebajikan dan keburukan sama-sama bersanding dalam jiwa setiap
manusia.

Allah mengilhami jiwa manusia dengan kedurhakaan dan
ketakwaan.

Begitu firman Allah dalam surat Asy-Syams ayat 8, yang artinya
diri manusia memiliki potensi kebaikan dan keburukan.

Seperti itu jugalah sifat masyarakat dan negara yang terdiri
dari banyak individu. Keburukan mendorong pada
kesewenang-wenangan, sedangkan kebajikan mengantarkan pada
keharmonisan. Saat terjadi kesewenang-wenangan, kebajikan
berseru dan merintih untuk mencegahnya. Dari sanalah
perjuangan, baik di tingkat individu maupun di tingkat
masyarakat dan negara. Demikian itulah ketetapan ilahi.

Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan segala
yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.
Sekiranya hendak membuat suatu permainan, tentulah
Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki
berbuat demikian (tentulah Kami telah melakukannya).
Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang
batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan
serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaan bagi
kamu menyifati (Allah dengan sifat yang tidak layak).
(QS Al-Anbiya' [21]: 16-18)

Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan
manusia agar menghiasi diri dengannya, serta memerintahkan
manusia agar memperjuangkannya hingga mengalahkan kebatilan.
Atau seperti bunyi ayat di atas, melontarkan yang hak kepada
yang batil hingga mampu menghancurkannya. Tapi hal itu tak
dapat terlaksana dengan sendirinya, kecuali melalui
perjuangan. Bumi adalah gelanggang perjuangan (jihad)
menghadapi musuh. Karena itu, al-jihad madhin ila yaum
al-qiyamah (perjuangan berlanjut hingga hari kiamat).

Istilah Al-Quran untuk menunjukkan perjuangan adalah kata
jihad. Sayangnya, istilah ini sering disalahpahami atau
dipersempit artinya.

MAKNA JIHAD

Kata jihad terulang dalam Al-Quran sebanyak empat puluh satu
kali dengan berbagai bentuknya. Menurut ibnu Faris (w. 395 H)
dalam bukunya Mu'jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, "Semua kata yang
terdiri dari huruf j-h-d, pada awalnya mengandung arti
kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya."

Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti "letih/sukar."
Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang
berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata "juhd" yang
berarti "kemampuan". Ini karena jihad menuntut kemampuan, dan
harus dilakukan sebesar kemampuan. Dari kata yang sama
tersusun ucapan "jahida bir-rajul" yang artinya "seseorang
sedang mengalami ujian". Terlihat bahwa kata ini mengandung
makna ujian dan cobaan, hal yang wajar karena jihad memang
merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang.

Makna-makna kebahasaan dan maksudnya di atas dapat
dikonfirmasikan dengan beberapa ayat Al-Quran yang berbicara
tentang jihad. Firman Allah berikut ini menunjukkan betapa
jihad merupakan ujian dan cobaan:

Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal
belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara
kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar (QS Ali
'Imran [3]: 142).

Demikian terlihat, bahwa jihad merupakan cara yang ditetapkan
Allah untuk menguji manusia. Tampak pula kaitan yang sangat
erat dengan kesabaran sebagai isyarat bahwa jihad adalah
sesuatu yang sulit, memerlukan kesabaran serta ketabahan.
Kesulitan ujian atau cobaan yang menuntut kesabaran itu
dijelaskan rinciannya antara lain dalam surat Al-Baqarah ayat
214:

Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal
belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya (yang
dialami) oleh orang-orang terdahulu sebelum kamu?
Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta
diguncang aneka cobaan sehingga berkata Rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya. "Bilakah
datangnya pertolongan Allah?" ingatlah pertolongan
Allah amat dekat (QS Al-Baqarah [2]: 214).

Dan sungguh pasti kami akan memberi cobaan kepada kamu
dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira
kepada orang-orang yang bersabar (QS Al-Baqarah [2]:
155).

Jihad juga mengandung arti "kemampuan" yang menuntut sang
mujahid mengeluarkan segala daya dan kemampuannya demi
mencapai tujuan. Karena itu jihad adalah pengorbanan, dan
dengan demikian sang mujahid tidak menuntut atau mengambil
tetapi memberi semua yang dimilikinya. Ketika memberi, dia
tidak berhenti sebelum tujuannya tercapai atau yang
dimilikinya habis.

Orang-orang munafik mencela orang-orang Mukmin yang
memberi sedekah dengan sukarela dan mencela juga
orang-orang yang tidak memiliki sesuatu untuk
disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan
mereka. Orang-orang munafik menghina mereka. Allah
akan membalas penghinaan mereka, dan bayi mereka siksa
yang pedih (QS Al-Tawbah [9]: 79).

Jihad merupakan aktivitas yang unik, menyeluruh, dan tidak
dapat dipersamakan dengan aktivitas lain --sekalipun aktivitas
keagamaan. Tidak ada satu amalan keagamaan yang tidak disertai
dengan jihad. Paling tidak, jihad diperlukan untuk menghambat
rayuan nafsu yang selalu mengajak pada kedurhakaan dan
pengabaian tuntunan agama.

Apakah orang-orang yang memberi minuman kepada
orang-orang yang melaksanakan haji dan mengurus Masjid
Al-Haram, kamu samakan dengan orang-orang yang beriman
kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan
Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Allah tidak
memberi petunjuk kepada kaum yang zalim (QS Al-Tawbah
[9]: 19).

Katakanlah, "Jika bapak-bapak, anak-anak,
saudara-saudara, istri-istri kamu, keluarga, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu
khawatiri kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal
yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka
tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
fasik." (QS Al-Tawbah [9]: 24).

Karena itu, seorang Mukmin pastilah mujahid, dan tidak perlu
menunggu izin atau restu untuk melakukannya. Ini berbeda
dengan orang munafik. Perhatikan dua ayat berikut:

Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian tidak meminta izin kepadamu (Muhammad Saw.)
untuk berjihad dengan harta benda dan jiwa mereka.
Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa (QS
Al-Tawbah [9]: 44).

Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang)
bergembira di tempat mereka di belakang Rasul, mereka
tidak senang untuk berjihad dengan harta dan diri
mereka di jalan Allah ... (QS Al-Tawbah [9]: 81).

Mukmin adalah mujahid, karena jihad merupakan perwujudan
identitas kepribadian Muslim. Al-Quran menegaskan,

Barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya
untuk dirinya sendiri (berakibat kemaslahatan baginya)
(QS A1-Ankabut [29]: 6).

Maka, jangan menduga yang meninggal di medan juang sebagai
orang-orang mati, tetapi mereka hidup memperoleh rezekinya di
sisi Allah Swt. (baca QS 3: 169). Karena jihad adalah
perwujudan kepribadian, maka tidak dibenarkan adanya jihad
yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Bahkan bila jihad
dipergunakan untuk memaksa berbuat kebatilan, harus ditolak
sekalipun diperintahkan oleh kedua orangtua.

Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad
(bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk
mempersekutukan Aku dengan sesuatu, yang tidak ada
bagimu pengetahuan tentang itu (apalagi jika kamu
telah mengetahui bahwa Allah tidak boleh
dipersekutukan dengan sesuatu pun), jangan taati
mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik
... (QS Luqman [31]. 15).

Mereka yang berjihad pasti akan diberi petunjuk dan jalan
untuk mencapai cita-citanya.

Orang-orang yang berjihad di jalan kami, pasti akan
Kami tunjukkan pada mereka jalan-jalan Kami (QS
Al-Ankabut [29]: 69).

Terakhir dan yang terpenting dari segalanya adalah bahwa jihad
harus dilakukan demi Allah, bukan untuk memperoleh tanda jasa,
pujian, apalagi keuntungan duniawi. Berulang-ulang Al-Quran
menegaskan redaksi fi sabilihi (di jalan-Nya). Bahkan Al-Quran
surat Al-Hajj ayat 78 memerintahkan:

Berjihad di (jalan) Allah dengan jihad
sebenar-benarnya.

Kesimpulannya, jihad adalah cara untuk mencapai tujuan. Jihad
tidak mengenal putus asa, menyerah, kelesuan, tidak pula
pamrih. Tetapi jihad tidak dapat dilaksanakan tanpa modal,
karena itu jihad mesti disesuaikan dengan modal yang dimiliki
dan tujuan yang ingin dicapai. Sebelum tujuan tercapai dan
selama masih ada modal, selama itu pula jihad dituntut.

Karena jihad harus dilakukan dengan modal, maka mujahid tidak
mengambil, tetapi memberi. Bukan mujahid yang menanti imbalan
selain dari Allah, karena jihad diperintahkan semata-mata demi
Allah. Jihad menjadi titik tolak seluruh upaya; karenanya
jihad adalah puncak segala aktivitas. Jihad bermula dari upaya
mewujudkan jati diri yang bermula dari kesadaran. Kesadaran
harus berdasarkan pengetahuan dan tidak datang dengan paksaan.
Karena itu mujahid bersedia berkorban, dan tak mungkin
menerima paksaan, atau melakukan jihad dengan terpaksa.

MACAM-MACAM JIHAD

Seperti telah dikemukakan, terjadi kesalahpahaman dalam
memahami istilah jihad. Jihad biasanya hanya dipahami dalam
arti perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata. Ini mungkin
terjadi karena sering kata itu baru terucapkan pada saat-saat
perjuangan fisik. Memang diakui bahwa salah satu bentuk jihad
adalah perjuangan fisik/perang, tetapi harus diingat pula
bahwa masih ada jihad yang lebih besar daripada pertempuran
fisik, sebagaimana sabda Rasulullah Saw. ketika beliau baru
saja kembali dari medan pertempuran.

Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad
terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.

Sejarah turunnya ayat-ayat A1 Quran membuktikan bahwa
Rasulullah Saw. telah diperintahkan berjihad sejak beliau di
Makkah, dan jauh sebelum adanya izin mengangkat senjata untuk
membela diri dan agama. Pertempuran pertama dalam sejarah
Islam baru terjadi pada tahun kedua Hijrah, tepatnya 17
Ramadhan dengan meletusnya Perang Badr.

Surat Al-Furqan ayat 52 yang disepakati oleh ulama turun di
Makkah, berbunyi:

Maka jangan kamu taati orang-orang kafir, dan
berjihadlah melawan mereka menggunakan Al-Quran dengan
jihad yang besar.

Kesalahpahaman itu disuburkan juga oleh terjemahan yang kurang
tepat terhadap ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang jihad
dengan anfus dan harta benda. Kata anfus sering diterjemahkan
sebagai jiwa Terjemahan Departemen Agama RI pun demikian
(lihat misalnya ketika menerjemahkan QS 8: 72, 49 :15;
walaupun ada juga yang diterjemahkan dengan diri [QS 9: 88]).
Memang, kata anfus dalam Al-Quran memiliki banyak arti. Ada
yang diartikan sebagai nyawa, di waktu lain sebagai hati, yang
ketiga bermakna jenis, dan ada pula yang berarti "totalitas
manusia" tempat terpadu jiwa dan raganya, serta segala sesuatu
yang tidak dapat terpisah darinya.

Al-Quran mempersonifikasikan wujud seseorang di hadapan Allah
dan masyarakat dengan menggunakan kata nafs. Jadi tidak salah
jika kata itu dalam konteks jihad dipahami sebagai totalitas
manusia, sehingga kata nafs mencakup nyawa, emosi,
pengetahuan, tenaga, pikiran, bahkan waktu dan tempat yang
berkaitan dengannya, karena manusia tidak dapat memisahkan
diri dari kedua hal itu. Pengertian ini, diperkuat dengan
adanya perintah dalam Al-Quran untuk berjihad tanpa
menyebutkan nafs atau harta benda (antara lain QS Al-Hajj:
78).

Pakar Al-Quran Ar-Raghib Al-Isfahani, dalam kamus A1-Qurannya
Mu'jam Mufradat Al-Fazh Al-Quran, menegaskan bahwa jihad dan
mujahadah adalah mengerahkan segala tenaga untuk mengalahkan
musuh. Jihad terdiri dari tiga macam: (1) menghadapi musuh
yang nyata, (2) menghadapi setan, dan (3) menghadapi nafsu
yang terdapat dalam diri masing-masing. Ketiga hal di atas
menurut Al-Isfahani dicakup oleh Firman Allah:

Berjihadlah demi Allah dengan sebenar-benarnya jihad
(QS Al-Hajj [22]: 78).

Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang yang
berhijrah dan berjihad dengan harta dan diri mereka di
jalan Allah, hanya mengharapkan rahmat Allah (QS
Al-Baqarah [2]: 218).

Rasulullah Saw. bersabda, "Jahiduw ahwa akum kama tujahiduna
'ada akum" (Berjihadlah menghadapi nafsumu sebagaimana engkau
berjihad menghadapi musuhmu). Dalam kesempatan lain beliau
bersabda, "Jahidu Al-kuffar ba aidiykum wa al-sinatikum"
(Berjihadlah menghadapi orang-orang kafir dengan tangan dan
lidah kamu).

Pada umumnya, ayat-ayat yang berbicara tentang jihad tidak
menyebutkan objek yang harus dihadapi. Yang secara tegas
dinyatakan objeknya hanyalah berjihad menghadapi orang kafir
dan munafik sebagaimana disebutkan Al-Quran surat At-Taubah
ayat 73 dan At-Tahrim ayat 9.

Wahai Nabi, berjihadlah menghadapi orang-orang kafir
dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah
terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam
dan itu adalah seburuk-buruk tempat.

Tetapi ini tidak berarti bahwa hanya kedua objek itu yang
harus dihadapi dengan jihad, karena dalam ayat-ayat lain
disebutkan musuh-musuh yang dapat menjerumuskan manusia
kedalam kejahatan, yaitu setan dan nafsu manusia sendiri.
Keduanya pun harus dihadapi dengan perjuangan.

Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena
sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagimu (QS
Al-Baqarah [2]: 168).

Hawa nafsu pun diperingatkan agar tidak diikuti sekehendak
hati.

Siapa lagi yang lebih sesat daripada yang mengikuti
hawa nafsunya, tanpa petunjuk dan Allah? (QS
Al-Qashash [28]: 50).

Nabi Yusuf diabadikan Al-Quran ucapannya:

Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena
sesungguhnya (hawa) nafsu selalu mendorong kepada
kejahatan kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS
Yusuf [12]: 53)

Jelaslah, paling tidak jihad harus dilaksanakan menghadapi
orang-orang kafir, munafik, setan, dan hawa nafsu.

Dapat dikatakan bahwa sumber dari segala kejahatan adalah
setan yang sering memanfaatkan kelemahan nafsu manusia. Ketika
manusia tergoda oleh setan, ia menjadi kafir, munafik, dan
menderita penyakit-penyakit hati, atau bahkan pada akhirnya
manusia itu sendiri menjadi setan. Sementara setan sering
didefinisikan sebagai "manusia atau jin yang durhaka kepada
Allah serta merayu pihak lain untuk melakukan kejahatan."

Menghadapi mereka tentunya tidak selalu harus melalui
peperangan atau kekuatan fisik. Tapi pada saat yang sama perlu
diingat bahwa hal ini sama sekali bukan berarti bahwa jihad
fisik tidak diperlukan lagi --sebagaimana pandangan kelompok
Qadiyaniah dari aliran Ahmadiah.

Seluruh potensi yang ada pada manusia harus dikerahkan untuk
menghadapi musuh, tetapi penggunaan potensi tersebut harus
juga disesuaikan dengan musuh yang dihadapi.

BERJIHAD MENGHADAPI MUSUH

Allah Swt. memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan dan
mengatur strategi menghadapi musuh sebelum berjihad. Salah
satu hal yang membantu tercapainya kemenangan adalah
pengetahuan tentang kekuatan dan kelemahan musuh, serta tipu
dayanya. Karena itu pula Al-Quran banyak menguraikan
sifat-sifat setan, nafsu manusia, orang kafir, dan orang
munafik.

Al-Quran dan hadis Nabi Saw. juga memberi petunjuk tentang
cara menghadapi setan dan nafsu manusia, serta petunjuk
mengenai batasan-batasan jihad dengan menggunakan senjata.


Wawasan Al Quran
Oleh:
Dr M. Quraish Shihab

No comments: